Dalam masalah muswarah dan voting, kita bisa membaginya menjadi dua wilayah. Pertama, musyawarah yang bersifat internal dengan sesama muslim. Kedua, musyawarah ekternal antara umat Islam dengan non muslim, atau dengan sesama muslim tapi yang kurang mendukung penerapan syariah Islam.
Kalau musyawarah dengan sesama muslim yang shalil, hal yang dibicarakan selalu berada di dalam koridor aqidah dan syariah Islam. Hasilnya tidak akan ke luar dari yang telah dihalalkan Allah SWT. Siapapun yang menang, insya Allah hasilnya tidak akan melanggar agama.
Namun kalau musyawarah dengan non muslim, maka wilayahnya adalah untung rugi buat kaum muslimin. Sebenarnya tetap tidak akan ada yang berubah dari hukum Allah, sebab diterima atau tidak, hukum dan syariah Allah tetap ada dan abadi.
Yang jadi masalah tinggal negoisasi penerapannya dengan sesama penduduk yang non muslim. Misalnya, dalam kebolehan mengenakan pakaian yang menutup aurat. Di suatu negeri memang dilarang, karena yang berkuasakebetulan non muslim yang secara sengaja ingin menghalangi umat Islam menjalankan ibadahnya.
Maka tugas umat Islam adalah bernegosiasi sedemikian rupa, agar hak-hak mereka sebagai muslim bisa didapatkan. Tentu saja berbagai bentuk nego itu perlu dilakukan, dengan mendahulukan prinsip perdamaian. Bukan langsung lewat pedang.
Seandainya mekanisme pengambilan keputusan harus lewat voting, karena dianggap itulah jalan tengah dalam negosiasi, tentu saja perlu dijajaki dulu. Mungkin lewat voting bisa diupayakan. Maka para pemimpin muslim di negeri itu bertugas untuk melobi para wakil rakyat atau mereka yang ikut punya suara dalam voting. Targetnya sederhana saja, yaitu agar umat Islam boleh menjalankan agamanya dengan bebas.
Nah, dalam kasus seperti ini, voting adalah bagian dari upaya menegakkan syariah. Walau pun bukan satu-satunya cara. Dan jangan dikatakan bahwa dengan cara ini, hukum Islam diserahkan kepada voting. Sekali-kali tidak!
Yang ingin diambil manfaat dari voting ini adalah negosiasi dengan pihak luar, agar bisa mendapatkan angin kebebasan. Bukan mau bernegosiasi dengan Allahdalam menjalankan agama dengan cara separuh-separuh. Soal wajibnya pakai jilbab, kita yakin 100% wajib. Adapun kita melakukan nego dengan cara voting adalah upaya memperjuangkannya agar bisa berjalan dengan lancar.
Praktek Voting di Zaman Nabi
Banya sekali bentuk praktek voting di zaman nabi SAW, yang intinya memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan shahabat, terutama yang muda-muda dan belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyingsong lawan di medan terbuka.
Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas, meski beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang. Umumnya pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan tawanan, sementara perang masih berlangsung.
Walaupun kemudian turun ayat yang mengoreksi ijtihad nabi SAW dan membenarkan pendapat Umar ra, namun peristiwa ini menggambarkan bahwa ada proses voting dalam pengambilan keputusan dalam sejarah nabi SAW.
Maka bukan pada tempatnya buat kita untuk menyatakan bahwa sistem voting itu bertentangan dengan ajaran Islam. Meski orang-orang kafir menggunakan sistem voting juga, namun tidak berarti kita meniru cara mereka. Buktinya, Rasulullah SAW sendiri pernah menjalakannya.
Kapan Voting Digunakan?
Voting memang bukan jalan satu-satunya dalam musyawarah. Boleh dibilang voting itu hanya jalan ke luar terakhir dari sebuah deadlock musyawarah.
Sebelum voting diambil, seharusnya ada brainstorming, atau bahasa kerennya ibda’ur-ra’yi. Dari sana akan dibahas dan diperhitungkan secara eksak faktor keuntungan dan kerugiannya. Tentu dengan mengaitkan dengan semua faktor yang ada.
Kalau voting itu bersifat internal umat Islam, maka haram hukumnya bila voting mengarah kepada sesuatu yang tidak dibenarkan Allah SWT. Sedangkan bila voting dengan melibatkan non muslim atau musuh Islam, maka yang terjadi bukan menjual ayat Allah, melainkan bagian dari memperjuangkan agama Allah SWT agar bisa ditegakkan. Bila belum bisa 100%, maka minimal 50%. Dan begitu seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar